Rumah yang Paling Jauh Dari Kezaliman Adalah Rumah Allah


Khalifah Umar bin Khatthab mendatangi Sayyidina Abbas, seorang paman Rasulullah Muhammad -shallallahu 'alaihi wa sallama- yang rumahnya mepet masjid.

“Saya ingin mewujudkan keinginan Rasulullah meluaskan masjid ini,” Masjid Nabawi maksudnya.

”Tapi terhalang rumah Anda,” lanjutnya.

“Lantas?” tanya Abbas.

“Relakanlah rumah Anda, untuk perluasan Masjid. Kami sudah menyiapkan rumah yang lebih luas dari ini sebagai gantinya.”

“Maaf ya Amiral Mukminin, rumah ini penuh dengan kenangan. Kami tidak bisa menyerahkannya begitu saja.”

“Tapi ini adalah cita-cita Rasulullah.”

“Tetap saja, kami tidak akan menyerahkannya.”

“Kalau begitu, aku akan memaksamu!” kali ini suara Umar sudah meninggi.

“Owh, tidak bisa!”

Abbas tetap bersikeras tidak mau menyerahkan rumahnya. Walau Umar telah menjelaskan bahwa itu untuk perluasan Masjid Nabawi, atas keinginan Rasulullah di masa hidupnya.

“Apa maumu?” Umar tidak bisa menyembunyikan kemarahan yang sudah mengemuka. Walau demikian, ia tetap membawa diri dengan baik.

“Aku ingin ada yang menjadi penengah antara kita,” jawab Abbas...  “untuk memberikan keputusan, apakah aku akan menyerahkan rumah ini atau tidak.”

“Baiklah. Siapa yang kau tunjuk?”

“Khudzaifah Ibnul Yaman!”

Sayyidina Umar sepakat dengan hakim yang ditunjuk oleh Sayyidina Abbas. Akhirnya dua sahabat -radhiyallahu 'anhuma- ini pun bergegas ke rumah Sayyidina Khudzaifah radhiyallahu 'anhu.

Sesampainya di sana, mereka berdua menceritakan masalahnya. Khudzaifah tidak segera menyampaikan pendapatnya. Tapi sahabat yang dikenal cerdik dan bijaksana ini bercerita.

Menurut Khudzaifah, dulu Nabiyullah Dawud -alaihissalam- juga ingin memperluas Masjidil Aqsha. Tapi terbentur oleh rumah di sampingnya. Pemilik rumah tersebut tidak mau menyerahkan rumahnya.

Nabi Dawud tetap memaksa. Ia ingin merobohkan rumah tersebut, walau pemiliknya tidak rela. Saat itulah Allah Ta'ala menegur Nabi Dawud, dengan firman-Nya, ”Inna ab'adal buyuti 'anizh zhulmi lahuwa baitullah = Rumah yang paling jauh dari kezaliman adalah rumah Allah!”

Mendengar cerita Khudzaifah tersebut, Umar dan Abbas berpandangan. “Bagaimana, apakah Anda masih tetap akan menggusur rumah saya?” tanya Abbas.

”Tidak! Saya tidak akan lagi meneruskan rencana itu,” jawab Umar.

“Nah, karena Anda sudah tidak main paksa, untuk itulah rumah itu saya serahkan kepada Negara, untuk perluasan Masjid Rasulullah!”

Umar terdiam. “Benarkah?”

“Iya. Tanpa perlu Anda ganti dengan rumah lain.”

Demikianlah, seringkali kebenaran yang ditegakkan dengan semena-mena menuai penolakan yang keras.

Tapi ketika dilakukan dengan cara yang baik, berdialog dan berdiskusi semestinya sebagaimana orang-orang beradab, kesadaran dan kerelaan justru lebih mudah didapatkan.

Tak ada hal yang tidak bisa dibicarakan. Tak ada kesalahan yang tak termaafkan. Hanya kelapangan dada yang perlu terus diluaskan. Sebab itu adalah cerminan para terpelajar.

Tapi kalau tidak, bersiaplah kita mengangkat kembali harimau sebagai raja rimba.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Rumah yang Paling Jauh Dari Kezaliman Adalah Rumah Allah"

Posting Komentar